Rabu, 26 Juni 2013

KAPAL NELAYAN PARE PARE TERBALIK 2 TEWAS


Kapal Nelayan Terbalik, 2 Tewas

  • Penulis :
  • Kontributor Pinrang, Suddin Syamsuddin
  • Minggu, 23 Juni 2013 | 13:50 WIB
Korban selamat dari kapal yang tenggelam di Pinrang sedang dirawat di Puskesmas Ujung Lero, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang | KOMPAS. Com/SUDDIN SYAMSUDDIN

PINRANG, KOMPAS. COM — Pesta nelayan yang dilaksanakan di perairan perbatasan Kabupaten Pinrang dan Kota Parepare, Minggu (23/6/2013) pagi berujung maut. Salah satu kapal nelayan yang mengangkut 40 warga Ujung Lero, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, terbalik. Dua orang dari 40 penumpang itu tewas. Beberapa cedera dan sejumlah orang lainnya belum ditemukan.

"Dua orang tewas, yaitu Hamsia (35 tahun), dan Nurbila Lapa (35), masing-masing warga Desa Lero," kata Kapolsek Suppa, Iptu Ari Galang. 

Sarifa (45), salah seorang korban selamat yang menjalani perawatan di Puskesmas Desa Lero, menuturkan, penumpang kapal yang terbalik itu mlebihi kapasitas. "Saat itu perahu melaju dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba perahu oleng ke kiri karena penumpang lebih banyak duduknya di sebelah kiri,"  kata Sarifa.

Korban cedera yang dirawat di Puskemas Lero sebanyak 11 orang, 8 orang di antaranya dirawat intensif.

Tim SAR dan Polairut Kabupaten Pinrang kini masih melakukan pencarian terhadap beberapa korban yang dinyatakan hilang.
Editor : Egidius Patnisti

Bantuan Kapal Motor 30 GT Untuk Nelayan Indramayu


Sejumlah Kapal 30 GT di Indramayu Saat Ini tak Bisa Digunakan



INDRAMAYU,(PRLM).- 

Sejumlah kapal 30 gross ton (GT) bantuan dari pemerintah pusat saat ini tidak bisa digunakan oleh nelayan. Mereka meminta pemerintah segera mengambil sikap agar anggaran bantuan tidak terbuang percuma.
Seorang nelayan di Karangsong Kab. Indramayu, Darji (40) menuturkan, dia bersama kelompok nelayan awalnya gembira karena mendapat bantuan kapal 30 GT.
Kapal tersebut terbilang besar dan idealnya bisa membantu kesejahteraa nelayan. Namun ketika kapal tersebut datang pada akhir 2011, nelayan justru kecewa karena fisik dan fungsi kapal tidak sesuai harapan. "Ternyata kapal ini tidak bisa digunakan karena tidak sesuai dengan kebutuhan kami," kata Darji.
Program bantuan kapal 30 GT di Jawa Barat ini digulirkan pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2010 sebagai implementasi dari Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pembangunan Nasional. Secara bertahap pemerintah pusat memberikan kapal kepada sejumlah kelompok nelayan untuk mendongkrak kesejahteraan.
Namun hingga saat ini, kata Darji, kesejahteraan nelayan belum terbantu karena kapa belum bisa dioperasikan. Secara fisik, dia menambahkan, kapal yang datang berbeda dengan kapal yang biasa digunakan nelayan di Indramayu.
Dia memperkirakan, hal ini terjadi karena pelaksanaan program bantuan kapal ini melibatkan pihak ketiga. "Katanya kapal ini dibuat di Tegal, karakter nelayan dan kapalnya beda dengan di sini," ujarnya.
Kemudian di sisi lain, persoalan juga terjadi pada fungsi komponen kapal. Ruang pendingin pada bagian palka misalnya, tidak dapat berfungsi dengan baik. Untuk bisa dioperasikan, kata Darji, nelayan harus memodifikasi kapal dengan biaya yang tidak sedikit.
Persoalan juga menjadi rumit bagi nelayan, karena sebelum kapal bantuan datang, dia diminta untuk memberikan kapal kecil yang selama ini digunakan kepada nelayan lain yang tidak memiliki kapal.
"Niatnya bagus, kelompok nelayan yang dapat bantuan kapal 30 GT memberikan kapalnya ke nelayan lain. Jadi banyak nelayan yang bisa terbantu," katanya.
Maka dia berharap, pemerintah segera memberikan perhatian. Di satu sisi, agar nelayan bisa terbantu kesejahteraannya. Di sisi lain, langkah cepat diperlukan agar anggaran yang tidak sedikit untuk program ini tidak mubazir. Pembuatan satu kapal 30 GT memakan anggaran lebih dari Rp 1 miliar.
Di wilayah Indramayu, tercatat hanya satu dari enam kapal bantuan 30 GT yang bisa dioperasikan. Satu kapal tersebut bisa dioperasikan setelah nelayan mengubah konstruksi palka ikan agar bisa berfungsi dengan baik. Sementara itu, lima kapal lainnya masih teronggok tak berfungsi di Karangsong dan Eretankulon.
Beberapa waktu lalu, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Barat secara resmi telah mengirimkan surat permohonan penjelasan dan evaluasi program kepada sejumlah instansi pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Hal ini dinilai perlu agar program bantuan yang digulirkan pemerintah bisa berjalan efektif.
Ketua DPD HNSI Jawa Barat, Ono Surono mengatakan, laporan yang masuk menunjukkan bahwa kapal bantuan yang diterima nelayan Jawa Barat tidak dapat beroperasi maksimal. Selain enam kapal yang teronggok di Indramayu, dua unit di Garut dan Ciamis juga bermasalah.
Nelayan harus mengeluarkan biaya untuk menambah alat tangkap jenis pancing. Dengan palka yang juga tidak berfungsi dengan baik, masa melaut hanya bisa dilakukan maksimal satu minggu. Padahal kapal sebesar itu idealnya bisa melaut hingga 30 hari dalam satu kali perjalanan.
Bahkan dua kapal di Subang membahayakan keselamatan nelayan karena pecah terhantam ombak saat melaut. Setelah diperbaiki dengan biaya sekitar Rp 20 juta, ada dugaan struktur kapal tidak sesuai dengan dokumen proyek.
Atas surat resmi dari DPD HNSI Jawa Barat tersebut, Ono menuturkan, Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat rencananya akan membuat program lanjutan agar kapal bisa beroperasi. Hanya saja, realisasinya masih harus dibuktikan. "Pemprov katanya akan menyediakan anggaran tambahan agar kapal tersebut bisa berjalan," ujarnya. (A-179/A-89)***//sumber PRLM//

Kamis, 20 Juni 2013

BANTUAN KAPAL MOTOR 30 GT MENTERI KELAUTAN SALAHKAN BUPATI SETEMPAT


Bantuan 1.000 Kapal 30 GT Kacau, Menteri kelautan salahkan bupati


Reporter : Ardyan Mohamad 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo tidak mau disalahkan dengan beberapa kegagalan program bantuan kapal 30 Gross Ton (GT) untuk koperasi nelayan terpilih se-Indonesia.
Di beberapa daerah, seperti pesisir Banten serta Maluku, kapal-kapal kelas menengah untuk menangkap ikan itu malah mangkrak lantaran nelayan belum mampu mengoperasikannya. Sebagian kapal malah rusak tidak lama setelah disalurkan.
Dia menyatakan kementeriannya sekadar menyalurkan bantuan dana pembangunan kapal. Untuk spesifikasi maupun tender, diserahkan pada pemerintah daerah.
"Bantuan kapal 30 GT kita akui masih banyak komplain, tapi semua uang itu ke daerah, kita hanya menyalurkan saja. Kita hanya memberi standardisasi, Pemda yang membuat sesuai permintaan bahan ataupun peralatan ditentukan kelompok nelayan," kata Cicip usai rapat kerja dengan Komisi IV DPR, di Senayan, Jakarta, Selasa (11/6).
Bila ada laporan yang menyebutkan bahwa nelayan belum bisa memanfaatkannya, Cicip menilai itu sepenuhnya tanggung jawab pemda sebagai pembina. "Sebetulnya dari kelompok nelayan dan pemda harus memberi tanggung jawab lebih agar kapal termanfaatkan dengan baik," cetusnya.
Sebagai langkah antisipatif, Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun ini tidak asal-asalan memberi bantuan kapal 30 GT. Harus ada kontrak kerja ditandatangani bupati supaya kapal dimanfaatkan nelayan yang membutuhkan. Pada tahun anggaran 2013, KKP menargetkan bisa menyalurkan 130 unit kapal ukuran menengah.
"Tahun ini setiap daerah yang minta kapal kita memberi kontak kerja kepada bupati," kata Cicip.
Kacaunya program bantuan kapal KKP terlihat dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II 2012 yang dinilai menyebabkan kerugian negara.
Dalam laporan BPK itu selain mangkrak, ada indikasi keterlambatan pekerjaan pembangunan kapal Tahun Anggaran 2010-2012. Di Tanjung Balai, Sumatera Utara kapal bantuan yang diserahterimakan pada 2012 sudah rusak.
Program bantuan 1.000 unit kapal berbobot 30 GT untuk nelayan merupakan program andalan Presiden SBY pada periode kepemimpinannya 2009-2014. Masing-masing unit kapal dipatok pada kisaran harga Rp 1,5 miliar.
Dasar program ini adalah data KKP yang menilai jumlah armada perikanan tangkap terlalu didominasi kapal berukuran kecil, di bawah 5 GT, yang berjumlah 958.499 buah.
Tercatat, sejak 2011 KKP telah menyalurkan bantuan 5 kapal 30 GT, tahun berikutnya 7 kapal, dan tahun ini 9 unit kapal.//sumber :merdeka.com//
(mdk/noe)

Sabtu, 15 Juni 2013

HARGA BBM NAIK 17 JUNI 2013


NELAYAN INDRAMAYU TOLAK KENAIKAN BBM NAIK 17 JUNI 2013



Nelayan Indramayu menolak rencana pemerintah SBY - Boediono akan kenaikan harga BBM pada 17 Juni 2013.

Ketua DPD  HNSI Jawa Barat, Ono Surono menegaskan, kenaikan harga BBM selain sebagai pintu masuk kesengsaraan rakyat, juga menjadi pemicu meningkatnya konflik antar rakyat khususnya para nelayan di Indramayu yang selama ini masih sangat kewalahan akan harga solar.

Selain itu, Ono juga menegaskan, kompensasi kenaikan harga BBM seperti BLSM, Beasiswa dan bantuan lainnya untuk rakyat miskin. Menurutnya merupakan bentuk suap secara halus untuk rakyat, karena selain tak mendidik, juga merupakan pengalihan agar kenaikan BBM ini tidak terlihat menindas rakyat.

ayooo rakyat harus paham dan pandai terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang menindas rakyat.

saatnya Nelayan bangkit, saatnya Rakyat Indonesia sejahtera... hidup rakyat!

GERAKAN NELAYAN TANI INDONESIA EKSPANSI DI INDRAMAYU

Berdirinya GANTI, Diharapkan Bisa Perjuangkan Nelayan dan Petani


Indramayu - "kba.ajiinews"

Gerakan Nelayan Tani Indonesia (GANTI) diminta memahami persoalan nelayan dan petani beserta solusinya. Pengurus dari para ahli menjadi langkah awal yang tepat bagi organisasi yang baru berdiri beberapa minggu lalu ini.

"GANTI diharapkan dapat memberikan solusi atau jalan terhadap masalah yang selalu dihadapi oleh nelayan dan petani. Sektor produksi, pengolahan, pemasaran dan peluang-peluang peningkatan 

sektor perikanan atau kelautan dan pertanian yang mengarah pada terwujudnya kedaulatan pangan di Indonesia," ujar Ketua KPL (Koperasi Perikanan Laut) Mina Sumitra Indramayu, Ono Surono, Senin (29/4/13).

Kader PDIP yang akan maju di Pileg DPR RI 2014 itu mengharapkan, GANTI harus menjadi organisasi rill dan wadah bagi nelayan dan petani. Untuk itu, Ono yang juga sebagai Pembina bibit Padi MSP ini menegaskan, yang harus menjadi perhatian GANTI adalah menginventaris masalah dan membuat solusi atau pemecahan masalah.

"Nantinya akan menjadi sebuah perjuangan untuk ditawarkan kepada pemerintah berupa program di bidang perikanan/kelautan dan pertanian," jelas Ketua HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia)Jabar itu.

Ono menambahkan, GANTI sebagai organisasi nasional, tentunya harus diisi oleh komposisi struktur pengurus yang berasal dari para ahli, pelaku di bidang Perikanan/Kelauatan/Pertanian serta komponen yang dapat menjadi jembatan dengan pemerintah yaitu Anggota Legislatif pada setiap tingkatan.

"Dengan GANTI yang Ketua Umumnya adalah Prof Ir Rokhmin Dahuri, maka tidak akan diragukan lagi kapasitas atau dedikasi dan kepeduliannya terhadap sektor perikanan atau kelautan dan Pertanian, karena beliau pernah menjadi Menteri Kelauatan dan Perikanan dan merupakan anak nelayan dari Desa Gebang Kabuaten Cirebon," tutup Ono yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat.

Diketahi, GANTI (Gerakan Nelayan Tani Indonesia) di deklarasikan pada Hari Sabtu 13 April 2013 di Pelabuhan Muara Angke, Pluit, Jakarta Utara. Dihadiri langsung oleh Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri. Diawali oleh Surat Keputusan DPP PDI Perjuangan tentang Pembentukan Organisasi GANTI sekaligus memberikan tugas kepada Prof. Ir.Rokhmin Dahuri sebagai ketua umum.
GANTI sebagai organisasi sayap PDI Perjuangan dibentuk untuk menyejahterakan kaum nelayan dan petani di Indonesia.
Sumber: cuplik.com

NELAYAN INDRAMAYU VERSUS NELAYAN JAWA TENGAH..?


Akibat Rumpon Are-Are, Ratusan Nelayan Jaring Mogok Melaut

Indramayu -"kba.ajiinews"

Ratusan nelayan jaring yang berasal dari pelabuhan Karangsong Indramayu memilih untuk tidak melaut, pasalnya banyak rumpon are-are (jenis rumah ikan buatan) yang dipasang oleh para nelayan rumpon dari Jepara Jawa Tengah di sepanjang titik pencarian ikan wilayah selatan dan utara laut Jawa.

 Nelayan menunggu instansi berwenang membersihkan rumpon tersebut. Kerugian nelayan Indramayu mencapai puluhan juta rupiah.

Atas kejadian itu, banyak juga kapal-kapal yang tengah melaut diperintahkan oleh para juragannya (pemilik kapal) untuk kembali ke darat. Mereka khawatir akan terjadi konflik antar nelayan jaring dengan nelayan rumpon are-are.

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Barat, Ono Surono menegaskan harus ada kesepakatan dan komunikasi sehingga di lapangan tidak terjadi bentrokan antar nelayan terkait masalah tersebut.

"Kita akan bahas persoalan antara nelayan Indramayu dengan nelayan Rembang ini ke Diskanla Provinsi hari ini," ujar Ono Surono, Senin (27/5/13).
Hal itu dibenarkan oleh salah satu Nahkoda, Sakuri. Menurutnya, setiap melaut, nelayan jaring harus menanggung kerugian puluhan juta rupiah. Kerugian ini akibat jaring yang ditebar mengalami kerusakan setelah tersangkut rumpon are-are.

"Di sepanjang laut Jawa-Kalimantan sudah banyak rumpon are-are. Ini sangat mengganggu aktivitas nelayan jaring dalam mencari ikan," salah satu nahkoda, Sakuri.
Ia memaparkan, kerusakan jaring ini rata-rata untuk sekali berangkat melaut mencapai Rp 20 juta. Kerugian ini, harus ditanggung oleh para ABK yang secara otomatis akan mengurangi pendapatan mereka.

"Nelayan Indramayu sudah banyak dirugikan terkait banyaknya rumpon," tegas Sakuri yang diamini oleh puluhan nahkoda lainnya.
Pihaknya mendesak pihak berwenang, agar nelayan are-are untuk mengganti pola penangkapannya, pasalnya setiap nelayan Indramayu tanam jaring selalu ditimpali dengan menanam rumpon oleh nelayan are-are.

Ia menyarankan, agar usai melakukan aktivitas penangkapan ikan, rumpon yang ditanam itu dibawa kembali atau merubah dengan cara menggunakan rumpon klewer seperti nelayan asal kabupaten Batang, Pekalongan dan Tegal.

"Bila masih saja mereka menggunakan rumpon are-are, konflik antar nelayan terus berlanjut. Lebih baik kami di darat saja daripada harus merugi akibat jaring rusak," katanya.

Sementara itu, menurut sekretaris HNSI Kabupaten Subang, Yanto mengatakan akan secepatnya menyarankan kepada nelayan rumpon are-are yang berpangkalan di KUD Mina Fajar Sidik, Blanakan-Subang untuk merubah sistem penangkapan ikan dengan alat yang tidak merugikan nelayan lainnya.

"Kita sudah tegaskan kepada juru mudi untuk menggunakan alat tangkap yang tidak merugikan," tandas Yanto.

Sumber: cuplik.com, Koran Fajar Cirebon

Bantuan 1000 Kapal 30 GT Inka Mina SBY

Ini Dia Cerita Miring:
Bantuan 1000 Kapal Motor  30 GT  Inka Mina SBY

Jakarta-"kaba.ajiinews"
Pelaksanaan program bantuan 1.000 kapal berukuran di atas 30 gross ton oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan bermasalah. Banyak kapal dibuat tidak berdasarkan spesifikasi dan alokasi harga kapal. Diduga ada mark-up dalam pelaksanaan proyek itu di berbagai daerah yang berpotensi merugikan negara.

Harapan membuncah di dada Dahli Sirait begitu kelompok nelayan yang dipimpinnya, Forum Komunikasi Nelayan Indonesia, menerima bantuan kapal Inka Mina 64. Secara fisik, kapal penangkap ikan berbobot 30 gross ton (GT) itu tampak cantik dan kokoh. 

"Benar, seperti kapal baru keluar dari galangan," ujar pria berusia 36 tahun itu.Dengan kapal berbobot sebesar itu, ia berharap dapat bersaing dengan kapal nelayan asing saat melaut.
Bagi para nelayan di Tanjung Balai (juga di seluruh perairan Indonesia), kapal-kapal asing merupakan momok yang menakutkan. Maklum, dengan bobot kapal yang rata-rata di atas 10 GT (bahkan ada yang mencapai 1.000 GT), kapal-kapal asing itu jelas bukan saingan kapal nelayan lokal, yang bobotnya paling banter 6-8 GT. 

"Apo lagi maunyo dikato? Saat menjaring ikan di perairan Indonesia saja sudah kalah bersaing dengan kapal nelayan asing. Kalau kapal kita 35-45 GT, bisa awak bilang lawanlah kapal nelayan asing tuh," kata Ahmad, rekan Dahli. 

Wajar jika para nelayan antusias ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2010 meluncurkan program bantuan 1.000 kapal berbobot di atas 30 GT untuk para nelayan. Program yang beken dengan nama Inka Mina itu (diambil dari nama kapal yang dibuat) menyedot dana APBN Rp 1,5 trilyun. Program ini rencananya terealisasi seluruhnya pada 2014. 

Untuk setiap kapal, negara menganggarkan dana Rp 1,5 milyar. Uang sebesar itu digunakan untuk pembangunan kapal, kelengkapan alat tangkap, serta modal awal bagi kelompok nelayan untuk membeli bahan bakar minyak, dan perbekalan melaut. 
Jika modal awal masih belum mencukupi, para nelayan juga dibolehkan bermitra dengan pemodal, dengan pola bagi hasil tangkapan. Lewat program ini, pemerintah berharap, produksi perikanan tangkap nasional meningkat. 

Sayangnya, harapan itu kandas begitu kapal yang diharapkan datang. Pertengahan 2012, kelompok Dahli menerima kapal Inka Mina bernomor lambung 64 dengan bobot 35 GT dan alat tangkap berupa jaring pukat cincin (purse sein). 

Meski sekilas terlihat bagus, setelah diteliti, ternyata kapal itu tidak seperti yang diharapkan. "Bahannya dari kayu sembarang saja seperti kayu cempedak," kata Dahli. Padahal, kayu untuk bahan kapal seharusnya menggunakan kayu ulin, meranti, atau bengkirai. 

Akibatnya, baru sebulan beroperasi, kapal itu langsung "porak-poranda". Tiang kayu penyangga katrol jaring penangkap ikan patah saat dipakai mengangkat ikan. Belum lagi kualitas jaring yang dipakai payah sehingga baru sekali dipakai sudah rusak di sana-sini. 

"Cepat koyak jaring-jaring pukat ikan itu. Sehingga harus tambal sulam tiap jaring usai digunakan supaya ikan tidak lari saat dijaring," tutur Dahli. Kini kapal itu mangkrak di dermaga, dipakai untuk tempat duduk-duduk dan memancing. 

Dahli dan para nelayan di kelompoknya jelas jengkel. Sebab, untuk bisa mendapatkan bantuan kapal itu, mereka harus melewati tahap seleksi yang ketat. "Harus diverifikasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan di Tanjung Balai, baru dilanjutkan ke Dinas Kelautan dan Perairan di Provinsi Sumatera Utara," ujarnya. 

Dahli menaksir, harga kapal itu tidak mencapai Rp 1,5 milyar seperti yang dijanjikan. "Dengan kualitas seperti ini,  harganya paling Rp 300 juta," katanya. 
Rupanya nasib nahas penerima bantuan kapal 30 GT dari KKP itu bukan hanya dialami kelompok Dahli. Hafizal, dari Kelompok Usaha Bersama (KUB) Bina Nelayan Belawan, bernasib serupa. "Sejak awal mendapat kapal, sudah ada komplain dari kelompok kami soal kualitas kayu," tuturnya. Mesin kapal, yang memakai mesin Yuchai buatan Cina, juga bermasalah. 

Selain tidak familier, para nelayan pun kerepotan menjaga agar mesin tetap dingin dan tidak ngadat di tengah laut. Satu-satunya pelipur lara bagi nelayan adalah alat komunikasi yang masih bagus, "Alat radio untuk berkomunikasi masih oke," ujarnya. 

Alhasil, kapal Inka Mina bernomor lambung 56 itu tak pernah melakukan "debut" melaut sama sekali sejak diserahterimakan. Bahkan, saking lamanya mangkrak di dermaga, kapal itu pernah karam. Menurut seorang nelayan, kapal itu buru-buru diperbaiki oleh pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara begitu tahu ada auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang datang melakukan audit ke sana. 

Berdasarkan dokumen yang diterima GATRA, untuk wilayah Sumatera Utara, kapal Inka Mina yang dialokasikan mencapai 16 kapal. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara, O.K. Zulkarnain, mengatakan bahwa dari jumlah itu, lima unit kapal telah diserahkan pada 2012. "Tahun ini targetnya 11 kapal," katanya. Soal banyaknya kapal yang berkualitas rendah dan tak laik layar, ia mengatakan bahwa masalah itu menjadi tanggung jawab pembuat kapal. 

Zulkarnain mengatakan, untuk pembangunan kapal, spesifikasi dan berbagai hal lain, seperti penyediaan jaring, jenis kayu, ukuran kapal, dan mesin, sudah ada ketentuannya. "Dituangkanlah itu dalam surat kepada konsultan perencanaan. Sudah tentu ahlinya," ungkap dia. Zulkarnain menduga, banyak pemenang tender yang nakal mengganti speks dengan bahan baku yang lebih murah untuk meraup keuntungan. "Tapi itu dugaan saya saja," ujarnya. 

Nelayan Indramayu, Jawa Barat, punya pengalaman tersendiri juga. Di wilayah Indramayu, kapal-kapal Inka Mina bukannya melaut, malah dipermak habis oleh para nelayan agar layak dipakai melaut. Saat GATRA berkunjung ke Pelabuhan Karangsong, Indramayu, beberapa nelayan sedang sibuk "mendandani" beberapa kapal Inka Mina yang tengah bersandar. 

Di kapal Inka Mina 358, misalnya, empat anak buah kapal sedang sibuk merapikan cat lambung kapal. Dua orang lainnya merakit alat pembeku ikan (freezer). Lebih dari setahun kapal itu berada di Pelabuhan Karangsong tanpa melaut sama sekali. KUB Limbangan, sebagai penerima bantuan itu, masih harus bekerja ekstra memperbaiki berbagai kekurangan yang ada serta harus merogoh kocek tidak sedikit untuk membeli jaring dan memasang freezer. 

Menurut Ono Surono, Ketua Koperasi Mina Sumitra, yang juga mendapat kapal bantuan, untuk membenahi bagian buritan kapal dan melengkapi jaring, biayanya bisa mencapai Rp 500 juta. Semua itu dilakukan agar kapal benar-benar laik layar dan bisa mendapat hasil maksimal. 
Koperasi Mina Sumitra yang dipimpin Ono termasuk beruntung.

 Sebab, ketika koperasi mendapat bantuan kapal Inka Mina 38, Ono ngotot agar kapal itu dibuat di Indramayu dengan tukang dan bahan baku disiapkan koperasi sendiri. Tujuannya, agar desainnya sesuai dengan yang diharapkan. 

Bahkan Ono harus mengeluarkan biaya lebih agar performa Inka Mina untuk koperasinya lebih baik. Misalnya, pemerintah tidak menyebutkan spesifikasi jenis paku, tapi Ono ingin pakunya menggunakan bahan stainless. "Jadi, saya bisa jamin, enam tahun kapal itu tidak masuk galangan," ia menegaskan. 

Berbeda dengan Inka Mina 121, 122, dan 123 yang tidak dibuat di Indramayu. desainnya tak sesuai dengan kearifan lokal dan kebiasaan nelayan Indramayu dalam menangkap ikan. Kapal Indramayu, kata Ono, cenderung berbentuk ramping dengan lambung membentuk huruf "U". 

"Sebab, ketika menarik jaring, kapal cenderung diam sehingga keseimbangan terjaga," kata Ono. 
Ketidaksesuaian desain dengan kearifan lokal dan kebiasaan setempat itu terjadi karena kapal tidak diproduksi di galangan tempat kapal akan diserahkan. Kapal untuk Indramayu, misalnya, dibuat di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Bentuk lambung kapal di Batang, kata Ono, cenderung "V" untuk meningkatkan kecepatan kapal. 

Secara umum, kapal-kapal Inka Mina memang tidak dibuat di wilayah tempat kapal akan diterimakan. Kapal-kapal untuk wilayah Jambi, misalnya, di buat di Jakarta. Bahkan kapal untuk Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan ada yang dibuat nun jauh di ujung timur Pulau Jawa, persisnya di Banyuwangi, Jawa Timur. Atau kapal untuk Maluku dibuat di galangan kapal di Banten. 

Alhasil, banyak bentuk kapal yang tidak sesuai dengan kebiasaan nelayan setempat dan perlu dirombak. Inilah yang membuat banyak kelompok nelayan akhirnya harus "bantingan" membenahi kapal. "Banyak yang sampai terjerat utang ratusan juta rupiah," kata seorang nelayan yang enggan disebut namanya. 

Di sisi lain, dengan kualitas kapal yang tidak bisa diandalkan, banyak kelompok nelayan yang kesulitan menggandeng investor. "Banyak yang takut tekor duluan, mana mau investasi di situ," kata sang nelayan lagi. 
Alhasil, seperti di Indramayu, banyak kapal yang akhirnya dibiarkan mangkrak begitu saja. Di pelabuhan, kapal Inka Mina 121, 122, dan 123 masih terbungkus terpal dan tak pernah beroperasi. Hanya kapal Inka Mina 357, 358, dan 359 yang bisa berlayar karena dibuat di Indramayu. 
*** 
Cerita suram proyek Inka Mina ini makin lengkap dengan munculnya berbagai kasus di beberapa daerah lain. Kapal Inka Mina 108 di Lampung Barat, yang merupakan proyek pengadaan tahun 2011, misalnya, bernasib nahas lantaran mesinnya cepat panas, terbakar, dan akhirnya tenggelam dalam operasi penangkapan ikan, akhir tahun 2012. Kapal Inka Mina 11 di Buleleng, Bali, yang dibuat pada 2010, karam akibat membentur karang pada Juni 2012. Ditengarai, alat navigasi kapal ini tak berfungsi baik. 

Dari rencana pengadaan 1.000 kapal sampai tahun 2014, jumlah yang terealisasi sampai tahun lalu baru mencapai 452 kapal. Dari jumlah itu, yang beroperasi baru 215 unit. Sisanya, 237 unit, masih mangkrak di berbagai daerah karena rusak, peralatan tak lengkap, sampai soal izin yang belum keluar. 

Dugaan adanya mark-up dalam pembuatan kapal-kapal bantuan presiden untuk nelayan itu pun merebak. DPRD Kota Medan, misalnya, menyebut biaya produksi kapal-kapal Inka Mina 56 dan 57 diperkirakan hanya Rp 700 juta. "Padahal, anggaran sebenarnya mencapai Rp 3 milyar. Kami menduga telah terjadi mark-up di sana. Karena itu, instansi terkait kami minta segera melakukan audit,'' kata Sekretaris Komisi D DPRD Medan, Muslim Maksum. 

Taksiran biaya itu, menurut Muslim, didasarkan pada hasil temuan lapangan oleh pihak DPRD. Selain jenis kayu yang merupakan kayu sembarang, cat kayu dan tali aktrol yang terbuat dari besi stainless biasa juga tidak sesuai dengan standar. "Bahka, bahan peralatan kapal, seperti lampu dan mesin kapal, tidak memadai dan sangat diragukan kualitasnya," ujarnya. 

Dugaan mark-up juga terjadi pada pembuatan kapal Inka Mina 48 di Sorong, 
Papua Barat. Kapal yang dibuat dengan biaya Rp 1,5 milyar itu, sejak diserahterimakan kepada nelayan dari Himpunan Kelompok Nelayan Tradisional Kota Sorong tahun 2010, tak pernah dipakai melaut dan hanya menjadi pajangan di dermaga Pelabuhan Rakyat Kota Sorong. 

Oleh para nelayan, kapal itu dinilai tidak laik laut lantaran konstruksi fiberglass kapal itu tipis, sehingga rentan pecah jika dihantam ombak. Selain itu, peralatan navigasi/komunikasi dan kondisi mesin (diduga mesin bekas) tidak cocok dengan bodi kapal. 

Penilaian ini sesuai dengan penilaian Kabid Kelaik Lautan Kapal Adpel Sorong, Sahertian Marthin, setelah pelaksanaan pemeriksaan alat navigasi, teknis, radio, dan kontruksi kapal tersebut pada 19 April 2012. 

Kasus itu sedang diselidiki Kejaksaan Negeri Sorong. Diduga, harga riil pembuatan kapal tersebut hanya Rp 200 juta, sehingga kualitasnya sangat minim. Sedangkan sisa anggaran yang mencapai Rp 1,3 milyar diduga menjadi bancakan berbagai pihak. 

Di Provinsi Banten, Kejaksaan Tinggi Banten juga sedang menyelidiki dugaan mark-up atas pengadaan beberapa unit Inka Mina tahun 2010-2011, yang diduga merugikan negara Rp 10,4 milyar. Dari hasil pemeriksaan fisik terhadap beberapa kapal, salah satunya Inka Mina 135 oleh tim ahli dari Kementerian Perhubungan, ditemukan beberapa fasilitas kapal memang tidak sesuai dengan dokumen kontrak. 

Selain bahan kapal, peralatan radio dan navigasi serta peralatan tangkap, ketidaksesuaian juga terjadi pada alat penyelamatan. Jaket pelampung pada kapal, misalnya, hanya terbuat dari bahan styrofoam. 

Dari sekian banyak kasus, yang telah masuk pengadilan adalah dugaan mark-up pengadaan tujuh unit kapal Inka Mina untuk wilayah Cilacap dan Kebumen, Jawa Tengah. Kasus ini bermula dari temuan potensi kerugian negara pada proyek ini oleh BPK sebesar Rp 12,6 milyar.

 Kasus ini menyeret Bambang Santoso, kuasa pengguna anggaran perikanan tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah, dan Sunar Wibowo, Direktur PT Marintek, yang memenangkan tender pengadaan tersebut, sebagai tersangka.

Marintek memenangkan kontrak senilai Rp 10,9 milyar untuk pengadaan kapal itu pada 2011. Dalam perjalanannya, saat tenggat penyerahan habis, proyek itu baru kelar 90%. Namun pihak dinas malah menandatangani dokumen pembayaran seolah-olah pekerjaan sudah selesai 100% dan Marintek menerima pembayaran penuh. 

Padahal, ada proyek yang belum dikerjakan, yakni fishing trail senilai Rp 168 juta dan dokumen kapal Rp 175 juta. Marintek juga tidak membayar denda keterlambatan proyek selama 18 hari, sebesar Rp 196,9 juta. 

BPK memang telah menurunkan tim untuk mengaudit pengadaan kapal Inka Mina itu di beberapa provinsi, seperti DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Papua Barat. Hasil temuannya beragam, dari adanya dugaan mark-up hingga proyek fiktif (seperti ditemukan di Maluku yang mengakibatkan negara berpotensi dirugikan Rp 795 juta). 

Selain itu, ditemukan potensi kelebihan pembayaran dalam proyek Inka Mina, sehingga negara juga berpotensi dirugikan Rp 849 juta. Ada pula temuan kerugian negara Rp 1,03 milyar karena tidak ditagihnya denda keterlambatan pekerjaan kapal Inka Mina. 

Sumber GATRA di lingkungan KKP menyebutkan, timbulnya potensi kerugian negara yang cukup besar dalam proyek ini sebenarnya tidak lepas dari lemahnya pengendalian yang dilakukan KKP sendiri. Dalam kasus-kasus itu, pihak KKP seperti menimpakan kesalahan kepada pihak dinas di daerah. 

"Lho, iya dong, mereka yang tanggung jawab. Sekarang, kalau ada masalah, kami yang balik tanya. Eh, kami sudah kasih anggaran, kok kalian begini? Itu tanggung jawab kalian," kata Menteri KKP, Syarif Cicip Sutardjo, saat ditanya GATRA soal banyaknya penyimpangan dalam proyek Inka Mina ini. 

Nyatanya, kata sumber itu, pihak pusat tidak bisa lepas tangan soal ini. Soal anggaran, misalnya, ada dugaan pihak dinas di daerah tidak sepenuhnya menerima alokasi Rp 1,5 milyar untuk tiap unit kapal. Kasus yang terjadi di Sumatera Utara dan Sorong, misalnya, mengindikasikan hal itu. 

Untuk Sorong, diduga pihak dinas hanya menerima dana Rp 200 juta, sehingga kapal dibuat sesuai dengan harga itu. "Itu sesuai dengan pesanan pihak dinas setempat. Pemenang tender hanya mengerjakan sesuai dengan pesanan," kata sumber itu. Demikian pula di Sumatera Utara. Diduga, dana yang dikucurkan tidak penuh, yaitu hanya Rp 300 juta-Rp 700 juta per kapal. 

Dalam proyek ini juga ada indikasi pemborosan dan aroma KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), kapal untuk provinsi tertentu justru dibuat di provinsi lain. "Ada indikasi KKN tempat galangan yang ditunjuk sesuai dengan kepentingan pihak dinas," katanya. Salah satunya adalah galangan kapal yang digunakan untuk membuat kapal Inka Mina 311, 312, dan 313 untuk Kabupaten 

Tanjung Jabung, Jambi. Dari dokumen yang diterima GATRA, pemenang tender pembuatan tiga unit kapal itu adalah PT Fibrit Fiberglass, yang beralamat di Jalan Tanjung Sanyang Nomor 5-6, Cawang, Jakarta Timur. 

Saat wartawan GATRA Sya'bani Takdir mengecek ke alamat itu, ternyata yang didapati adalah perusahaan yang bergerak di bidang jual-beli bahan fiberglass. Perusahaan itu terletak di ujung jalan buntu di sebuah gang sempit yang hanya bisa dilewati satu unit mobil. Meski kecil, perusahaan itu ternyata punya riwayat kerja sama dengan beberapa kementerian. 

Pada 2009, perusahaan tersebut pernah mendapat tender dari Kementerian Perhubungan untuk pembuatan kapal patroli. Sayangnya, kerja sama itu berujung kasus lantaran diduga ada unsur KKN. Untuk memuluskan proyek itu, PT Fibrite Fiberglass ketahuan memberikan uang pelicin Rp 300 juta kepada pejabat Kementerian Perhubungan. 

Selain itu, indikasi KKN cukup kuat dalam pengadaan barang untuk keperluan kapal, khususnya mesin. Untuk urusan mesin, merek Yuchai buatan Cina yang digunakan di beberapa kapal Inka Mina dinilai tak berkualitas. Banyak keluhan nelayan soal mesin ini karena mudah panas dan kerap ngadat. Sumber itu menyebutkan, dealer mesin ini, PT Indo Yuchai Machinery, dimiliki kerabat mantan petinggi KKP. "Makanya bisa menang tender, meski mesinnya tak berkualitas," kata sumber itu. 
Soal menang tender pengadaan mesin kapal Inka Mina, pihak Indo Yuchai Machinery mengakuinya. Semmy dari bagian marketing PT Indo Yuchai Machinery mengatakan, perusahaannya memang mendapat tender pengadaan mesin untuk kapal-kapal Inka Mina. 

Tetapi ia membantah itu karena KKN. "Tender dilakukan oleh tiap provinsi dan kabupaten/kota. Pihak kami hanya menyediakan surat dukungan sebagai syarat untuk mendapatkan mesin kapal untuk perusahaan pelayaran yang meminta," kata Semmy kepada Umaya Khusniah dari GATRA. 
Mesin yang sering digunakan di kapal Inka Mina berjenis YC6A170C untuk kapal dengan ukuran 30 GT. Mesin seharga Rp 25 juta itu, kata Semmy, layak pakai dan tidak bermasalah.

 "Bila dalam perjalanannya mesin mengalami kerusakan, perusahaannya juga menyediakan sparepart aslinya," tutur Semmy. Soal klaim mesin itu boros dan sering ngadat, menurut dia, itu terjadi karena ada oknum penguasaha kapal yang nakal tidak menggunakan mesin secara utuh. "Beberapa bagian mesin diambil dari mesin lain," katanya. 

Semmy juga membantah tudingan bahwa perusahaan itu dimiliki kerabat petinggi KKP. "Ini yang punya orang Cina Semarang," ungkapnya. Soal kerja sama, Semmy bilang, perusahaan yang berdiri 10 tahun itu sering menang tender di kementerian dan lembaga pemerintah. Selain KKP, ada juga Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai, polisi air, Kemenkominfo, dan Kementerian Perhubungan. 
*** 
Pihak KKP sendiri mengakui bahwa pelaksanaan proyek ini perlu dibenahi di sana-sini. Kepada GATRA, Direktur Kapal Perikanan dan Penangkap Ikan, Muhammad Zaini, mengatakan bahwa pihaknya sudah membenahi pedoman pembangunan kapal Inka Mina untuk tahun 2013. Salah satunya, penetapan kelompok usaha bersama (KUB) nelayan yang akan menerima bantuan. KUB ini akan ikut mengawasi pembangunan kapal. 

KUB akan menentukan apakah kapal akan dibangun dengan bahan fiber atau kayu. Jenis fiber-nya pun ditentukan oleh KKP, yaitu marine fibreglass, serta kayu jenis awet I-II dan kelas kuat I-II. Termasuk kayu jenis itu adalah merbau, bengkirai, dan keranji. Mesin juga ditetapkan harus mesin laut baru, bukan modifikasi, yang memiliki jaminan purnajual minimal satu tahun serta ketersediaan suku cadang selama lima tahun. 

Untuk menjamin kesiapan KUB menerima kapal dan beroperasi, pihak KKP menginstruksikan pula agar biaya melaut dicantumkan dalam kontrak. "Biaya melaut harus diberikan melalui cash. Kalau di kontrak Rp 30 juta, ya, kami kasih segitu. Kami masukkan itu di biaya fishing trial. Jadi, sekaligus digunakan untuk modal awal supaya tidak ada kendala lagi untuk memulai usaha," kata Zaini. 


Ia juga membantah tudingan bahwa dalam proyek ini terjadi banyak penyimpangan anggaran dan mark-up. "Hasil temuan BPK, sangat sedikit yang ditemui karena penyimpangan speks. Yang ada adalah keterlambatan pengiriman atau surat izin melaut," ujar Zaini. 

Ia menilai, meskipun ada kekurangan, tujuan program ini mulia. Karena itu, pelaksanaannya harus terus didorong. "Program Inka Mina ini, saya berharap, tidak muluk-muluk, 70% saja keberhasilannya. Saya katakan berhasil kalau nelayannya mendapat penghasilan per bulan minimal Rp 2,5 juta. Itu target saya," katanya.
***
Sumber: Gatra

Kapal Tenggelam Di Pulau Burias 36 Warga Filipina Hilang


Kapal Tenggelam, 36 Warga Filipina Hilang
Jumat, 14 Juni 2013 - 15:48:42 WIB



(Foto/Antara)
Kapal Tenggelam (Ilustrasi)
Kapal nahas membawa 22 awak dan 35 penumpang.


MANILA - Seorang penumpang wanita berusia 59 tahun tewas sementara 36 lainnya hilang ketika kapal roro tenggelam di lepas pantai Provinsi Masbate, Filipina tengah.  Penjaga Pantai Filipina (PCG) menyebutkan, peristiwa ini terjadi pada Jumat (14/6) pagi. Sebanyak  34 penumpang diselamatkan dari MV Lady of Mount Carmel yang terbalik di dekat Pulau Burias di Masbate.  Sedang korban tewas diketahui bernama Perlita Zena.

Pihak berwenang yang belum menentukan penyebab insiden tersebut. Menurut PCG, Penjaga Pantai Masbate menerima telepon dari kepolisian Masbate, yang menginformasikan tentang kejadian itu pada sekitar pukul 5.30 waktu setempat.

Penjaga Pantai dengan kapal perikanan, MCS 3006, dan helikopter segera dikerahkan ke daerah tersebut untuk melakukan operasi pencarian dan penyelamatan.

Kapal nahas, yang memiliki kapasitas 212 orang itu, saat itu sedang membawa 22 anggota awak dan 35 penumpang ketika tragedi terjadi, kata PCG, dan mencatat bahwa tidak ada kelebihan beban pada kapal tersebut.

Kapal itu datang dari Pio Duran di provinsi utara Albay dan sedang dalam perjalanan ke Aroroy, Masbate ketika kecelakaan itu terjadi.
Sumber : Antara

NELAYAN INDRAMAYU 23 DAERAH LAKUKAN TEMU AKBAR



Ratusan Nelayan Ikuti Temu Akbar 2013










JAKARTA-"kba.ajiinews"
Temu Akbar Nelayan Indonesia 2013 dibuka secara resmi oleh ratusan nelayan dan perempuan nelayan dari 23 kabupaten/kota, seperti Bengkalis (Kepulauan Riau), Bangka Belitung, Indramayu (Jawa Barat), Lampung, Jawa Tengah (Kendal, Jepara, Cilacap, Demak, Semarang), Jawa Timur (Surabaya, Madura, Lamongan, Gresik), Palu (Sulawesi Tengah), dan sebagainya, di Sekretariat Nasional KIARA, Jakarta.

Temu Akbar Nelayan Indonesia 2013 mengambil tema 'Tegakkan Konstitusi, Sejahterakan Nelayan.' Pembukaan diawali dengan sambutan Dewan Presidium KIARA Arman Manila.
Ia menyampaikan bahwa, "Temu Akbar Nelayan Indonesia dapat dijadikan momentum mendesak penyelenggara negara agar menyejahterakan nelayan sesuai amanah UUD 1945".

Setali tiga uang, Sekretaris Jenderal KIARA Riza Damanik juga menyatakan bahwa, "Indonesia kehilangan orientasinya dalam menegakkan konstitusi. Melalui Temu Akbar Nelayan Indonesia 2013 inilah, nelayan, perempuan nelayan dan petambak Indonesia ingin memberi arahan kepada penyelenggara negara agar kembali kepada konstitusi demi sebesar-besar kesejahteraan nelayan".

Pembukaan Temu Akbar Nelayan Indonesia 2013 diramaikan dengan Larung Perahu sebagai simbol dibukanya acara, dilanjutkan dengan monolog 'Bayang Cermin Retak' dan fragmen 'Samudera Masih Biru' yang dibawakan oleh Sahabat Laut dan Kafha Paramadina.
Acara ditutup dengan pentas musik bahari oleh SIMPONI (Sindikat Musik Penghuni Bumi).sumber :
( A Adib / CN37 / JB//suaramerdeka.com //

Dirjen Perhubungan Laut Kenaikan Tarif Jasa Pelabuhan

  Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Kemenhub Bobby R Mamahit mengatakan, seluruh Otoritas Pelabuhan (OP) dan Kesyahbandaran serta Otoritas Pelabuhan (KSOP) harus melakukan audit terhadap biaya pelabuhan.                           Kenaikan Tarif Jasa Pelabuhan


JAKARTA -"kba,ajiinews"
 
Kementerian Perhubungan selaku regulator akan mengundang seluruh pemangku kepentingan, terkait pemberlakukan tarif pelabuhan menyusul adanya keluhan tingginya tarif pelabuhan oleh para operator kapal.
Kenaikan tarif jasa kepelabuhanan sangat sensitif, karena berdampak pada penambahan biaya operasional. Pelaku usaha pelayaran menyadari jika kenaikan disesuaikan dengan ongkos angkut, pada akhirnya akan sangat membebani pemilik barang.
Sesuai Permenhub Nomor 6/2013 tentang Tarif Pelabuhan, tarif merupakan kesepakatan semua pihak mulai dari pemilik kapal, pemilik barang, dan pengelola pelabuhan, sedangkan pemerintah hanya memfasilitasi dan membakukannya menjadi sebuah peraturan.

“Jika ada pihak-pihak yang memang keberatan, nanti akan coba dimediasi oleh Kemenhub melalui Direktorat Jendral Perhubungan Laut untuk dicari jalan yang terbaiknya,” kata Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono, Jumat (14/6).
Menurut Bambang, jika mengikuti inflasi tarif pelabuhan memang harus dinaikkan setiap tahun. Namun, pihaknya tetap mengedepankan kesepakatan semua pihak dengan memperhitungkan kondisi pasar yang ada saat ini.
Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Kemenhub Bobby R Mamahit mengatakan, seluruh Otoritas Pelabuhan (OP) dan Kesyahbandaran serta Otoritas Pelabuhan (KSOP) harus melakukan audit terhadap biaya pelabuhan. Hal ini diharapkan dapat mengurangi beban yang ditanggung operator kapal.
“Ini kami lakukan, selain untuk menekan tingginya biaya logistik juga untuk mengetahui apakah semua biaya tersebut berdasar hukum atau tidak. Pada prinsipnya semua biaya yang ada harus melalui persetujuan Kemenhub, bila tidak maka dianggap tidak prosedural dan ilegal,” katanya.

Selain itu, audit dilakukan berdasarkan adanya isu monopoli dan besarnya pungutan-pungutan yang ditarik di pelabuhan belakangan ini. Namun, bila dari hasil audit semuanya lengkap dan melalui prosedur yang ditentukan, tidak menjadi permasalahan ke depannya.

Ketua Umum Asosiasi Pemilik Kapal Niaga Nasional atau Indonesian National Shipowners Association (INSA), Carmelita Hartoto, telah meminta pemerintah agar secepatnya merevisi Permenhub Nomor 6/2013 karena tidak mengakomodasi kepentingan pengguna jasa kepelabuhanan.

“Regulasi itu justru memicu keresahan pelaku usaha di setiap pelabuhan. Dampaknya bukan hanya menimpa pelayaran, melainkan juga pelaku usaha lain,” katanya. Ia menambahkan, dalam Permenhub itu, PT Pelindo I-IV selaku operator dapat menaikan tarif jasa kepelabuhanan secara sepihak. Operator kepelabuhanan cukup mengusulkannya kepada pemerintah, yakni Kemenhub dan langsung dikabulkan.
“Harusnya PT Pelindo I-IV sadar, dan apa yang dilakukan selama ini bertentangan dengan misi logistik yang efisien. Yang terjadi justru sebaliknya, biaya membengkak dan pada akhirnya menimpa para konsumen,” katanya.
Dirut PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, RJ Lino mengakui, saat ini biaya logistik di Indonesia sangat tinggi, mencapai 24 persen dari produk domestik bruto. “Untuk ini kami menggandeng Bank Dunia untuk memetakan sektor mana saja yang menyebabkan tingginya biaya logistik nasional,”katanya.
Bank Dunia akan menginventarisasi sejumlah pelabuhan yang akan dijadikan pelabuhan feeder dalam penerapan pendulum nusantara selama 3-4 bulan.//sumbe:hu sinar harapan//